Sabtu, 30 April 2011

Kisah Nabi Nuh as

Nabi Nuh as

Nabi Nuh adalah nabi keempat sesudah Adam, Syith dan Idris dan keturunan kesembilan dari Nabi Adam. Ayahnya adalah Lamik bin Metusyalih bin Idris.

Dakwah Nabi Nuh Kepada Kaumnya

Nabi Nuh menerima wahyu kenabian dari Allah dalam masa "fatrah" masa kekosongan di antara dua rasul di mana biasanya manusia secara beransur-ansur melupakan ajaran agama yang dibawa oleh nabi yang meninggalkan mereka dan kembali bersyirik meninggalkan amal kebajikan, melakukan kemungkaran dan kemaksiatan di bawah pimpinan Iblis.
Demikianlah maka kaum Nabi Nuh tidak luput dari proses tersebut, sehingga ketika Nabi Nuh datang di tengah-tengah mereka, mereka sedang menyembah berhala ialah patung-patung yang dibuat oleh tangan-tangan mereka sendiri disembahnya sebagai tuhan-tuhan yang dapat membawa kebaikan dan manfaat serta menolak segala kesengsaraan dan kemalangan.berhala-berhala yang dipertuhankan dan menurut kepercayaan mereka mempunyai kekuatan dan kekuasaan ghaib ke atas manusia itu diberinya nama-nama yang silih berganti menurut kehendak dan selera kebodohan mereka.Kadang-kadang mereka namakan berhala mereka " Wadd " dan " Suwa " kadangkala " Yaguts " dan bila sudah bosan digantinya dengan nama " Yatuq " dan " Nasr ".

Nabi Nuh berdakwah kepada kaumnya yang sudah jauh tersesat oleh iblis itu, mengajak mereka meninggalkan syirik dan penyembahan berhala dan kembali kepada tauhid menyembah Allah Tuhan sekalian alam melakukan ajaran-ajaran agama yang diwahyukan kepadanya serta meninggalkan kemungkaran dan kemaksiatan yang diajarkan oleh Syaitan dan Iblis.
Nabi Nuh menarik perhatian kaumnya agar melihat alam semesta yang diciptakan oleh Allah berupa langit dengan matahari, bulan dan bintang-bintang yang menghiasinya, bumi dengan kekayaan yang ada di atas dan di bawahnya, berupa tumbuh-tumbuhan dan air yang mengalir yang memberi kenikmatan hidup kepada manusia, pengantian malam menjadi siang dan sebaliknya yang kesemua itu menjadi bukti dan tanda nyata akan adanya keesaan Tuhan yang harus disembah dan bukan berhala-berhala yang mereka buat dengan tangan mereka sendiri.Di samping itu Nabi Nuh juga memberitakan kepada mereka bahwa akan ada gajaran yang akan diterima oleh manusia atas segala amalannya di dunia iaitu syurga bagi amalan kebajikan dan neraka bagi segala pelanggaran terhadap perintah agama yang berupa kemungkaran dan kemaksiatan.

Nabi Nuh yang dikurniakan Allah dengan sifat-sifat yang patut dimiliki oleh seorang nabi, fasih dan tegas dalam kata-katanya, bijaksana dan sabar dalam tindak-tanduknya melaksanakan tugas risalahnya kepada kaumnya dengan penuh kesabaran dan kebijaksanaan dengan cara yang lemah lembut mengetuk hati nurani mereka dan kadang kala dengan kata-kata yang tajam dan nada yang kasar bila menghadapi pembesar-pembesar kaumnya yang keras kepala yang enggan menerima hujjah dan dalil-dalil yang dikemukakan kepada mereka yang tidak dapat mereka membantahnya atau mematahkannya.

Akan tetapi walaupun Nabi Nuh telah berusaha sekuat tanaganya berdakwah kepda kaumnya dengan segala kebijaksanaan, kecekapan dan kesabaran dan dalam setiap kesempatan, siang mahupun malam dengan cara berbisik-bisik atau cara terang dan terbuka terbyata hanya sedikit sekali dari kaumnya yang dpt menerima dakwahnya dan mengikuti ajakannya, yang menurut sementara riwayat tidak melebihi bilangan seratus orang Mereka pun terdiri dari orang-orang yang miskin berkedudukan sosial lemah. Sedangkan orang yang kaya-raya, berkedudukan tingi dan terpandang dalam masyarakat, yang merupakan pembesar-pembesar dan penguasa-penguasa tetap membangkang, tidak mempercayai Nabi Nuh mengingkari dakwahnya dan sesekali tidak merelakan melepas agamanya dan kepercayaan mereka terhadap berhala-berhala mereka, bahkan mereka berusaha dengan mengadakan persekongkolan hendak melumpuhkan dan mengagalkan usaha dakwah Nabi Nuh.

Berkata mereka kepada Nabi Nuh:"Bukankah engkau hanya seorang daripada kami dan tidak berbeda drp kami sebagai manusia biasa. Jikalau betul Allah akan mengutuskan seorang rasul yang membawa perintah-Nya, nescaya Ia akan mengutuskan seorang malaikat yang patut kami dengarkan kata-katanya dan kami ikuti ajakannya dan bukan manusia biasa seperti engkau hanya dpt diikuti orang-orang rendah kedudukan sosialnya seperti para buruh petani orang-orang yang tidak berpenghasilan yang bagi kami mereka seperti sampah masyarakat.Pengikut-pengikutmu itu adalah orang-orang yang tidak mempunyai daya fikiran dan ketajaman otak, mereka mengikutimu secara buta tuli tanpa memikirkan dan menimbangkan masak-masak benar atau tidaknya dakwah dan ajakanmu itu. Cuba agama yang engkau bawa dan ajaran -ajaran yang engkau sadurkan kepada kami itu betul-betul benar, nescaya kamilah dulu mengikutimu dan bukannya orang-orang yang mengemis pengikut-pengikutmu itu. kami sebagai pemuka-pemuka masyarakat yang pandai berfikir, memiliki kecerdasan otak dan pandangan yang luas dan yang dipandang masyarakat sebagai pemimpin-pemimpinnya, tidaklah mudak kami menerima ajakanmu dan dakwahmu.Engkau tidak mempunyai kelebihan di atas kami tentang soaL-soal kemasyarakatan dan pergaulan hidup.kami jauh lebih pandai dan lebih mengetahui drpmu tentang hal itu semua.nya.Anggapan kami terhadapmu, tidak lain dan tidak bukan, bahawa engkau adalh pendusta belaka."

Nuh berkata, menjawab ejekan dan olok-olokan kaumnya:"Adakah engkau mengira bahwa aku dpt memaksa kamu mengikuti ajaranku atau mengira bahwa aku mempunyai kekuasaan untuk menjadikan kamu orang-orang yang beriman jika kamu tetap menolak ajakan ku dan tetap membuta-tuli terhadap bukti-bukti kebenaran dakwahku dan tetap mempertahakan pendirianmu yang tersesat yang diilhamkan oleh kesombongan dan kecongkakan karena kedudukan dan harta-benda yang kamu miliki.Aku hanya seorang manusia yang mendpt amanat dan diberi tugas oleh Allah untuk menyampaikan risalah-Nya kepada kamu. Jika kamu tetap berkeras kepala dan tidak mahu kembali ke jalan yang benar dan menerima agama Allah yang diutuskan-Nya kepada ku maka terserahlah kepada Allah untuk menentukan hukuman-Nya dan gajaran-Nya keatas diri kamu. Aku hanya pesuruh dan rasul-Nya yang diperintahkan untuk menyampaikan amanat-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Dialah yang berkuasa memberi hidayah kepadamu dan mengampuni dosamu atau menurunkan azab dan seksaan-Nya di atas kamu sekalian jika Ia kehendaki.Dialah pula yang berkuasa menurunkan seksa danazab-nya di dunia atau menangguhkannya sampai hari kemudian. Dialah Tuhan pencipta alam semesta ini, Maha Kuasa ,Maha Mengetahui, maha pengasih dan Maha Penyayang."

Kaum Nuh mengemukakan syarat dengan berkata:"Wahai Nuh! Jika engkau menghendaki kami mengikutimu dan memberi sokongan dan semangat kepada kamu dan kepada agama yang engkau bawa, maka jauhkanlah para pengikutmu yang terdiri dari orang-orang petani, buruh dan hamaba-hamba sahaya itu. Usirlah mereka dari pengaulanmu karena kami tidak dpt bergaul dengan mereka duduk berdampingan dengan mereka mengikut cara hidup mereka dan bergabung dengan mereka dalam suatu agama dan kepercayaan. Dan bagaimana kami dpt menerima satu agama yang menyamaratakan para bangsawan dengan orang awam, penguasa dan pembesar dengan buruh-buruhnya dan orang kaya yang berkedudukan dengan orang yang miskin dan papa."

Nabi Nuh menolak pensyaratan kaumnya dan berkata:"Risalah dan agama yang aku bawa adalah untuk semua orang tiada pengecualian, yang pandai mahupun yang bodoh, yang kaya mahupun miskin, majikan ataupun buruh ,diantara peguasa dan rakyat biasa semuanya mempunyai kedudukan dan tempat yang sama trehadap agama dan hukum Allah. Andai kata aku memenuhi pensyaratan kamu dan meluluskan keinginanmu menyingkirkan para pengikutku yang setia itu, maka siapakah yang dpt ku harapkan akan meneruskan dakwahku kepada orang ramai dan bagaimana aku sampai hati menjauhkan drpku orang-orang yang telah beriman dan menerima dakwahku dengan penuh keyakinan dan keikhlasan di kala kamu menolaknya serta mengingkarinya, orang-orang yang telah membantuku dalam tugasku di kala kamu menghalangi usahaku dan merintangi dakwahku. Dan bagaimanakah aku dpt mempertanggungjawabkan tindakan pengusiranku kepada mereka terhadap Allah bila mereka mengadu bahawa aku telah membalas kesetiaan dan ketaatan mereka dengan sebaliknya semata-mata untuk memenuhi permintaanmu dan tunduk kepada pensyaratanmu yang tidak wajar dan tidak dpt diterima oleh akal dan fikiran yang sihat. Sesungguhnay kamu adalah orang-orang yang bodoh dan tidak berfikiran sihat.

Pada akhirnya, karena merasa tidak berdaya lagi mengingkari kebenaran kata-kata Nabi Nuh dan merasa kehabisan alasan dan hujjah untuk melanjutkan dialog dengan beliau, maka berkatalah mereka: "Wahai Nabi Nuh! Kita telah banyak bermujadalah dan berdebat dan cukup berdialog serta mendengar dakwahmu yang sudah menjemukan itu. Kami tetap tidak akan mengikutimu dan tidak akan sesekali melepaskan kepercayaan dan adat-istiadat kami sehingga tidak ada gunanya lagi engkau mengulang-ulangi dakwah dan ajakanmu dan bertegang lidah dengan kami. datangkanlah apa yang engkau benar-benar orang yang menepati janji dan kata-katanya. Kami ingin melihat kebenaran kata-katamu dan ancamanmu dalam kenyataan. Karena kami masih tetap belum mempercayaimu dan tetap meragukan dakwahmu."

Nabi Nuh Berputus Asa Dari Kaumnya

Nabi Nuh berada di tengah-tengah kaumnya selama sembilan ratus lima puluh tahun berdakwah menyampaikan risalah Tuhan, mengajak mereka meninmggalkan penyembahan berhala dan kembali menyembah dan beribadah kepada Allah Yang maha Kuasa memimpin mereka keluar dari jalan yang sesat dan gelap ke jalan yang benar dan terang, mengajar mereka hukum-hukum syariat dan agama yang diwahyukan oleh Allah kepadanya, mangangkat darjat manusia yang tertindas dan lemah ke tingak yang sesuai dengan fitrah dan qudratnya dan berusaha menghilangkan sifat-sifat sombong dan bongkak yang melekat pd para pembesar kaumnya dan medidik agar mereka berkasih sayang, tolong-menolong diantara sesama manusia. Akan tetapi dalam waktu yang cukup lama itu, Nabi Nuh tidak berhasil menyedarkan an menarik kaumnya untuk mengikuti dan menerima dakwahnya beriman, bertauhid dan beribadat kepada Allah kecuali sekelompok kecil kaumnya yang tidak mencapai seramai seratus orang, walaupun ia telah melakukan tugasnya dengan segala daya-usahanya dan sekuat tenaganya dengan penuh kesabaran dan kesulitan menghadapi penghinaan, ejekan dan cercaan makian kaumnya, karena ia mengharapkan akan dtg masanya di mana kaumnya akan sedar diri dan dtg mengakui kebenarannya dan kebenaran dakwahnya. Harapan Nabi Nuh akan kesedaran kaumnya ternyata makin hari makin berkurangan dan bahawa sinar iman dan takwa tidak akan menebus ke dalam hati mereka yang telah tertutup rapat oleh ajaran dan bisikan Iblis. Hal mana Nabi Nuh berupa berfirman Allah yang bermaksud:

"Sesungguhnya tidak akan seorang daripada kaumnya mengikutimu dan beriman kecuali mereka yang telah mengikutimu dan beriman lebih dahulu, maka jgnlah engkau bersedih hati karena apa yang mereka perbuatkan."

Dengan penegasan firman Allah itu, lenyaplah sisa harapan Nabi Nuh dari kaumnya dan habislah kesabarannya. Ia memohon kepada Allah agar menurunkan Azab-Nya di atas kaumnya yang berkepala batu seraya berseru:"Ya Allah! Jgnlah Engkau biarkan seorang pun drp orang-orang kafir itu hidup dan tinggal di atas bumi ini. Mareka akan berusaha menyesatkan hamba-hamba-Mu, jika Engkau biarkan mereka tinggal dan mereka tidak akan melahirkan dan menurunkan selain anak-anak yang berbuat maksiat dan anak-anak yang kafir seperti mereka."

Doa Nabi Nuh dikalbulkan oleh Allah dan permohonannya diluluskan dan tidak perlu lagi menghiraukan dan mempersoalkan kaumnya, karena mereka itu akan menerima hukuman Allah dengan mati tenggelam.

Nabi Nuh Membuat Kapal

Setelah menerima perintah Allah untuk membuat sebuah kapal, segeralah Nabi Nuh mengumpulkan para pengikutnya dan mulai mereka mengumpulkan bhn yang diperlukan untuk maksud tersebut, kemudian dengan mengambil tempat di luar dan agak jauh dari kota dan keramaiannya mereka dengan rajin dan tekun bekerja siang dan malam menyelesaikan pembinaan kapal yang diperintahkan itu.

Walaupun Nabi Nuh telah menjauhi kota dan masyarakatnya, agar dpt bekerja dengan tenang tanpa gangguan bagi menyelesaikan pembinaan kapalnya namun ia tidak luput dari ejekan dan cemuhan kaumnya yang kebetulan atau sengaja melalui tempat kerja membina kapal itu. Mereka mengejek dan mengolok-olk dengan mengatakan:"Wahai Nuh! Sejak bila engkau telah menjadi tukang kayu dan pembuat kapal?Bukankah engkau seorang nabi dan rasul menurut pengakuanmu, kenapa sekarang menjadi seorang tukang kayu dan pembuat kapal.Dan kapal yang engkau buat itu di tempat yang jauh dari air ini adalah maksudmu untuk ditarik oleh kerbau ataukah mengharapkan angin yang ankan menarik kapalmu ke laut?"Dan lain-lain kata ejekan yang diterima oleh Nabi Nuh dengan sikap dingin dan tersenyum seraya menjawab:"Baiklah tunggu saja saatnya nanti, jika kamu sekrg mengejek dan mengolok-olok kami maka akan tibalah masanya kelak bg kami untuk mengejek kamu dan akan kamu ketahui kelak untuk apa kapal yang kami siapkan ini.Tunggulah saatnya azab dan hukuman Allah menimpa atas diri kamu."

Setelah selesai pekerjaan pembuatan kapal yang merupakan alat pengangkutan laut pertama di dunia, Nabi Nuh menerima wahyu dari Allah:"Siap-siaplah engkau dengan kapalmu, bila tiba perintah-Ku dan terlihat tanda-tanda drp-Ku maka segeralah angkut bersamamu di dalam kapalmu dan kerabatmu dan bawalah dua pasang dari setiap jenis makhluk yang ada di atas bumi dan belayarlah dengan izin-Ku."

Kemudian tercurahlah dari langit dan memancur dari bumi air yang deras dan dahsyat yang dalam sekelip mata telah menjadi banjir besar melanda seluruh kota dan desa menggenangi daratan yang rendah mahupun yang tinggi sampai mencapai puncak bukit-bukit sehingga tiada tempat berlindung dari air bah yang dahsyat itu kecuali kapal Nabi Nuh yang telah terisi penuh dengan para orang mukmin dan pasangan makhluk yang diselamatkan oleh Nabi Nuh atas perintah Allah.

Dengan iringan"Bismillah majraha wa mursaha"belayarlah kapal Nabi Nuh dengan lajunya menyusuri lautan air, menentang angin yang kadang kala lemah lembut dan kadang kala ganas dan ribut. Di kanan kiri kapal terlihatlah orang-orang kafir bergelut melawan gelombang air yang menggunung berusaha menyelamat diri dari cengkaman maut yang sudah sedia menerkam mereka di dalam lipatan gelombang-gelombang itu.

Tatkala Nabi Nuh berada di atas geladak kapal memperhatikan cuaca dan melihat-lihat orang-orang kafir dari kaumnya sedang bergelimpangan di atas permukaan air, tiba-tiba terlihatlah olehnya tubuh putera sulungnya yang bernama "Kan'aan" timbul tenggelam dipermainkan oleh gelombang yang tidak menaruh belas kasihan kepada orang-orang yang sedang menerima hukuman Allah itu. Pada saat itu, tanpa disadari, timbullah rasa cinta dan kasih sayang seorang ayah terhadap putera kandungnya yang berada dalam keadaan cemas menghadapi maut ditelan gelombang.

Nabi Nuh secara spontan, terdorong oleh suara hati kecilnya berteriak dengan sekuat suaranya memanggil puteranya:Wahai anakku! Datanglah kemari dan gabungkan dirimu bersama keluargamu. Bertaubatlah engkau dan berimanlah kepada Allah agar engkau selamat dan terhindar dari bahaya maut yang engkau menjalani hukuman Allah." Kan'aan, putera Nabi Nuh, yang tersesat dan telah terkena racun rayuan syaitan dan hasutan kaumnya yang sombong dan keras kepala itu menolak dengan keras ajakan dan panggilan ayahnya yang menyayanginya dengan kata-kata yang menentang:"Biarkanlah aku dan pergilah, jauhilah aku, aku tidak sudi berlindung di atas geladak kapalmu aku akan dapat menyelamatkan diriku sendiri dengan berlindung di atas bukit yang tidak akan dijangkau oleh air bah ini."

Nuh menjawab:"Percayalah bahawa tempat satu-satunya yang dapat menyelamatkan engkau ialah bergabung dengan kami di atas kapal ini. Masa tidak akan ada yang dapat melepaskan diri dari hukuman Allah yang telah ditimpakan ini kecuali orang-orang yang memperolehi rahmat dan keampunan-Nya."

Setelah Nabi Nuh mengucapkan kata-katanya tenggelamlah Kan'aan disambar gelombang yang ganas dan lenyaplah ia dari pandangan mata ayahnya, tergelincirlah ke bawah lautan air mengikut kawan-kawannya dan pembesar-pembesar kaumnya yang durhaka itu.

Nabi Nuh bersedih hati dan berdukacita atas kematian puteranya dalam keadaan kafir tidak beriman dan belum mengenal Allah. Beliau berkeluh-kesah dan berseru kepada Allah:"Ya Tuhanku, sesungguhnya puteraku itu adalah darah dagingku dan adalah bahagian dari keluargaku dan sesungguhnya janji-Mu adalha janji benar dan Engkaulah Maha Hakim yang Maha Berkuasa."Kepadanya Allah berfirman:"Wahai Nuh! Sesungguhnya dia puteramu itu tidaklah termasuk keluargamu, karena ia telah menyimpang dari ajaranmu, melanggar perintahmu menolak dakwahmu dan mengikuti jejak orang-orang yang kafir drp kaummu.Coretlah namanya dari daftar keluargamu.Hanya mereka yang telah menerima dakwahmu mengikuti jalanmu dan beriman kepada-Ku dpt engkau masukkan dan golongkan ke dalam barisan keluargamu yang telah Aku janjikan perlindungannya danterjamin keselamatan jiwanya.Adapun orang-orang yang mengingkari risalah mu, mendustakan dakwahmu dan telah mengikuti hawa nafsunya dan tuntutan Iblis, pastilah mereka akan binasa menjalani hukuman yang telah Aku tentukan walau mereka berada dipuncak gunung. Maka janganlah engkau sesekali menanyakan tentang sesuatu yang engkau belum ketahui. Aku ingatkan janganlah engkau sampai tergolong ke dalam golongan orang-orang yang bodoh."

Nabi Nuh sedar segera setelah menerima teguran dari Allah bahwa cinta kasih sayangnya kepada anaknya telah menjadikan ia lupa akan janji dan ancaman Allah terhadap orang-orang kafir termasuk puteranya sendiri. Ia sedar bahawa ia tersesat pd saat ia memanggil puteranya untuk menyelamatkannya dari bencana banjir yang didorong oleh perasaan naluri darah yang menghubungkannya dengan puteranya padahal sepatutnya cinta dan taat kepada Allah harus mendahului cinta kepada keluarga dan harta-benda. Ia sangat sesalkan kelalaian dan kealpaannya itu dan menghadap kepada Allah memohon ampun dan maghfirahnya dengan berseru:"Ya Tuhanku aku berlindung kepada-Mu dari godaan syaitan yang terlaknat, ampunilah kelalaian dan kealpaanku sehingga aku menanyakan sesuatu yang aku tidak mengetahuinya. Ya Tuhanku bila Engkau tidak memberi ampun dan maghfirah serta menurunkan rahmat bagiku, nescaya aku menjadi orang yang rugi."

Setelah air bah itu mencapai puncak keganasannya dan habis binasalah kaum Nuh yang kafir dan zalim sesuai dengan kehendak dan hukum Allah, surutlah lautan air diserap bumi kemudian bertambatlah kapal Nuh di atas bukit " Judie " dengan iringan perintah Allah kepada Nabi Nuh:"Turunlah wahai Nuh ke darat engkau dan para mukmin yang menyertaimu dengan selamat dilimpahi barakah dan inayah dari sisi-Ku bagimu dan bagi umat yang menyertaimu."

Kisah Nabi Nuh Dalam Al-Quran

Al-Quran menceritakan kisah Nabi Nuh dalam 43 ayat dari 28 surah di antaranya surah Nuh dari ayat 1 sehinga 28, juga dalam surah "Hud" ayat 27 sehingga 48 yang mengisahkan dialog Nabi Nuh dengan kaumnya dan perintah pembuatan kapal serta keadaan banjir yang menimpa di atas mereka.

Pengajaran Dari Kisah Nabi NuhA.S.

Bahwasannya hubungan antara manusia yang terjalin karena ikatan persamaan kepercayaan atau penamaan aqidah dan pendirian adalah lebih erat dan lebih berkesan drp hubungan yang terjalin karena ikatan darah atau kelahiran. Kan'aan yang walaupun ia adalah anak kandung Nabi Nuh, oleh Allah s.w.t. dikeluarkan dari bilangan keluarga ayahnya karena ia menganut kepercayaan dan agama berlainan dengan apa yang dianut dan didakwahkan oleh ayahnya sendiri, bahkan ia berada di pihak yang memusuhi dan menentangnya.

Maka dalam pengertian inilah dapat difahami firman Allah dalam Al-Quran yang bermaksud:"Sesungguhnya para mukmin itu adalah bersaudara." Demikian pula hadis Rasulullah s.a.w.yang bermaksud:"Tidaklah sempurna iman seseorang kecuali jika ia menyintai saudaranya yang beriman sebagaimana ia menyintai dirinya sendiri."Juga peribahasa yang berbunyi:"Adakalanya engkau memperolehi seorang saudara yang tidak dilahirkan oleh ibumu."

Jumat, 29 April 2011

Holidays in The Bocor Beach

“Holidays in the Bocor Beach”

One day, I and my friends went to Bocor beach. I and my friends wanted to spend our holidays. We went by motorcycle at 09.00 A.M. We wanted to play water and sand in there.

Then, I and my friends had until over there, we walked at coastwise. We looked many people in there. There was played kit, played sand, played football, and bath in the beach. There was went to beach with family, with friends, and couple. The weather was sunny and cold. The wave was very big and cold.

When, I and my friends wanted to play water in the beach, we put our shoes near the beach. We played sand too. We made a mountains and temples. We made big lake. Suddenly, there was a big wave came for us. We ran away and left our shoes. We forgot our shoes in there. And we looked our shoes thrown by big wave. We felt very afraid and shouted.

We tried to save our shoes. We ran to the beach. And finally, I and my friends could save our shoes. We felt very happy and shy. Many people looked at us. They laughed look this incident. I and my friends went home at 11.30 A.M. We felt very happy but stupid.

Kamis, 28 April 2011

Pulang Untuk Pergi

Pulang Untuk Pergi

Tak ada yang istimewa dalam pertemuan antara bapak dan anak di serambi itu, ketika malam baru saja menggulung siang. Hanya saja wajah keduanya yang tampak tegang, dan saling bercakap pelan-pelan dan berat. Sesekali sang bapak menghisap rokok keretek yang tinggal separohnya, menghisapnya dalam-dalam, lalu menghembuskan asapnya pelan-pelan tepat ke atas meja kayu yang bertaplak kain tak jelas warnanya itu. Dua cangkir teh pahit sudah sejak tadi tidak lagi mengepulkan asap, sudah dingin dan tinggal sedikit bersama ampasnya di dasar gelas. Sang anak hanya diam memandangi lantai sambil memainkan jemarinya di ujung lipatan kain sarungnya. Lalu tiba-tiba sang bapak memecahkan kebuntuan pembicaraan dengan melepaskan kopiahnya dan meletakkannya di atas meja.

“Apa yang Bapak khawatirkan selama ini akhirnya terjadi juga, Nak ….,” matanya yang cekung memandangi wajah anaknya yang lantas kian tertunduk.

“Maafkan saya, Bapak ….” Si anak menjawab lirih hampir tak terdengar oleh telinga bapaknya.

Kalimat itu sudah diucapkannya beberapa kali sejak tadi. Bola matanya basah, walaupun belum sampai ada tetesan air mata yang mengalir di kedua pipinya yang coklat mengkilat itu. Pandangan matanya makin dalam menusuk lantai di bawah meja. Rasanya ingin menerobos ke dalam tanah dan menemukan lubang persembunyian di dalamnya. Lalu ia akan meringkuk di dalamnya, untuk tak pernah keluar lagi menatap terang dunia. Sudah menjadi kebiasaannya sejak kecil, ia tak kuasa memandang ke arah wajah bapaknya ketika dia sedang mengajaknya berbicara. Bapaknya memang tak pernah marah kepadanya, tak pernah membentak, bahkan tak pernah berkata kasar apalagi mengeluh tentang perihnya hati menapaki jalan kehidupan yang selalu sulit dan berat mereka jalani.

“Ropin, tanpa kau mengucapkannya pun bapak sudah memaafkanmu sejak dulu.” Kali ini asap rokoknya dihembuskan lurus ke atas, sambil wajahnya menengadah menatap deretan genting yang seperti hendak runtuh karena dimakan usia.

Ropin makin terdiam dan kaku. Pikirannya melayang. Ia kembali teringat ketika tiga tahun lalu ibu dan bapak melepas kepergiannya dengan berat dan diiringi deraian air mata berkepanjangan. Dekapan tubuh kurus ibunya masih terasa hangat, dan kata-kata terakhir yang diucapkannya masih terngiang hingga sekarang: “Ropin, kalau di perantauan jangan lupa tetap sembahyang dan mengaji ….” Kemudian Bapak menyambung: “Kalau nanti pulang belikan Bapak radio kecil, ya Nak. Untuk teman kalau sedang di sawah.” Ropin pun berangkat meninggalkan rumah dan kampungnya yang selama delapan belas tahun menjadi tempatnya bermain dan bermanja.

Di sakunya tersimpan segepok uang, dua juta rupiah, hasil penjualan sebidang tanah di belakang rumah dan hasil tabungan ibunya selama beberapa tahun. Dengan uang sebanyak itu ia akan mengadu keberuntungan di negeri orang. Bersama beberapa orang temannya, dia turuti ajakan seseorang yang mengaku dapat mengantarkan mereka ke negeri jiran. Di sana dijanjikan akan bekerja di perusahaan besar dengan upah yang tinggi dan belum pernah mereka bayangkan sebelumnya.

Di sebuah pelabuhan kecil di pesisir timur Sumatera, mereka menunggu kedatangan kapal tongkang yang akan membawa mereka menyeberangi Selat malak menuju negeri impian. Sang perantara telah meminta seluruh uang yang mereka bawa dengan alasan sebagai ongkos perjalanan dan biaya administrasi. Ketika salah seorang teman Ropin mengajukan keberatan dengan uang sebanyak itu, lelaki itu dengan ketus menjawab. “Kalau tak berani bayar, pulang saja. Tidak apa-apa. Tapi kamu harus bayar ganti rugi satu setengah juta rupiah!”

Tak ada yang berani membantah setelah itu. Bagai kerbau dicocok hidungnya, mereka menuruti semua ucapan perantara itu. Harapan akan memperoleh pekerjaan dan upah besar masih terlalu manis untuk dilewatkan begitu saja. Biarlah uang dua juta rupiah hilang, toh itu hanya sama besarnya dengan satu bulan gaji di sana kelak. Dan ketika kapal itu berangkat di tengah malam, sang perantara tidak ikut serta. Sepuluh penumpangnya sekarang di bawah pimpinan kepala rombongan yang berbicara dengan logat Melayu kental. Ropin dan teman-temannya yang asli orang Jawa sering tidak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh lelaki berkumis tipis itu.

Beberapa jam kemudian menjelang fajar kapal berlabuh di sebuah pantai yang senyap. Lalu mulailah babak baru kehidupan Ropin di sebuah negeri yang dia gambarkan sebagai negeri yang menjanjikan banyak mimpi akan menjadi kenyataan. Tetapi pekerjaan sebagai karyawan perusahaan besar tak dijumpainya. Ia menjadi buruh perkebunan kelapa sawit yang lokasinya sangat jauh di pedalaman. Tetapi ia mencoba menjalaninya dengan sepenuh hati.

Ketika matahari baru terbit sudah harus keluar dari rumah bedeng menuju ke lokasi perkebunan dengan diangkut kendaraan bak terbuka. Menjelang matahari terbenam baru pulang dan kembali ke rumah bedeng yang terbuat dari papan dan triplek. Dalam keadaan tubuh kelelahan maka sepanjang malam hanya dihabiskan untuk berbaring di atas tikar. Gaji bulanan yang diterima ternyata tidak sebesar yang dijanjikan. Itu pun dibayarkan tidak setiap bulan. Kadang-kadang harus masih dipotong untuk keperluan yang tidak jelas. Dan dengan uang sebesar itu hanya cukup untuk biaya membeli bahan makanan dan bumbu dapur. Keterpaksaanlah yang akhirnya membuat Ropin harus bisa memasak menggunakan tungku dengan kayu bakar yang dipungutinya dari pinggiran hutan. Hal yang tak pernah dilakukannya ketika masih di kampung dulu, karena ibunya yang selalu melakukan itu untuknya. Sisa sedikit uang dari penghematan yang teramat ketat disimpannya dengan sangat rapi dan rahasia di balik lipatan bajunya. Takut hilang atau dicuri orang.

Kenyataan ternyata lebih keras dan pahit dari bayangan ketika di kampung dulu. Hatinya terus berontak dan ingin menjerit. Mimpi-mimpinya mulai hancur berkeping-keping, berserakan di langit khayalannya yang terus mengembara tak tentu arah. Di sela-sela kelelahan raga meratapi getirnya kehidupan yang harus dijalani, Ropin makin tak berdaya menatap puing-puing harapan yang beterbangan ditiup angin. Tangannya lunglai meremas ujung tikar kumal yang lembab dan menebar bau tak sedap karena tak pernah sempat dijemur di bawah terik matahari. Tatapan matanya layu, meredam keputusasaan dan kemarahan yang terus datang bertubi-tubi.

Mimpi yang pernah diceritakan kepada ibunya tak dapat diraihnya. Harapan yang pernah dijanjikan di depan bapaknya, kini sirna dan tak dapat diwujudkannya. Ia telah lupa pesan ibunya agar tidak meninggalkan sembahyang dan mengaji. Ia telah remuk dilumat kekecewaan dan dirundung kebimbangan. Bagaimana jika ia pulang kembali ke kampung halamannya kelak, pakaiannya berubah kumal, rambut dan jambang tak terawat, dan badan kurus kering begini? Apa komentar teman-teman dan para tetangganya jika melihat kepergiannya dulu melangkah gagah tetapi pulangnya tak membawa apa-apa? Bagaimana dia bisa memenuhi permintaan bapaknya yang ingin dibelikan pesawat radio kecil? Ah, tidak!

Ia terkenang kembali ketika dulu merajuk di hadapan ibu dan bapak agar mencarikan uang untuk biaya keberangkatannya ke negeri ini. Orangtuanya yang hanya buruh tani terperangah dengan nominal uang dua juta rupiah yang disebutkannya. Uang sebanyak itu memang sering didengarnya, tetapi untuk bisa menyediakannya dalam waktu singkat apakah mungkin? Ibu berusaha meyakinkan agar tak usah mencari pekerjaan terlalu jauh dengan menyeberang lautan. Lebih baik miskin di kampung sendiri daripada mengais rejeki yang belum tentu adanya di negeri orang yang jauh. Bapak juga mengingatkan, mereka ingin ditunggui oleh Ropin di hari tuanya. Bagaimana jika mereka kangen, sedangkan Ropin ada di sebuah tempat yang tak diketahuinya sama sekali?

Ropin tak juga menyerah. Janji-janji dari sang perantara dan cerita indah dari teman-temannya telah membiusnya dan membuat lupa akan kemampuan ekonomi orang tuanya. Ia malah mengumbar janji pula di hadapan ibu dan bapak, justru dia akan merubah kehidupan keluarga mereka dengan mencari uang banyak di perantauan. Mau bekerja apa di kampung mereka agar dapat memperoleh uang banyak untuk membangun rumah dan membeli perabotan bagus seperti majikan mereka, Wak Haji Sobri. Ropin membual kelak akan pulang dengan membawa perubahan besar bagi keluarganya. Dan untuk melakukan semua itu perlu pengorbanan. Dan modal hanya dua juta rupiah, Ibu! Tidak lebih dari itu, Bapak! Percayalah pada Ropin. Ropin berkata dalam hati tak akan mengecewakan orang-orang yang sangat dicintai dan dihormatinya itu.

“Ah, Ropin anakku satu-satunya …. kalau itu memang maumu ibu dan bapak akan mengusahakannya.” Kalimat yang meluncur lembut dari bibir ibunya yang merah karena mengunyah sirih itulah yang diharapkan Ropin sejak sebulan kemarin. Serasa dunia berada di dalam genggaman tangannya. Oh, mimpi-mimpi itu pasti akan kuwujudkan tidak lama lagi. Mereka akan menjadi kaya, tidak lagi menjadi buruh di sawah dan kebun Wak Haji Sobri yang pemarah itu. Ropin janji, Bu. Jangan khawatir, Pak. Doakan saja semoga Ropin selamat dan lancar rejekinya.

Lalu ia teringat pula ketika ibunya masuk ke dalam biliknya dan tak lama kemudian keluar lagi dengan membawa sebuah bungkusan dari kain berwarna merah. Dibukanya bungkusan yang diikat erat-erat itu di atas meja. Lalu ia menyaksikan ibunya menghitung pelan-pelan lembar demi lembar uang ribuan yang lusuh dan berdebu. Bapak ikut membantu. Ropin berharap uang itu ada dua juta. Namun setelah lama menghitung, ternyata hanya lima ratus ribu!

“Sebenarnya uang ini Ibu tabung dari sedikit-sedikit untuk biaya pernikahan kamu, Pin. Hampir empat tahun Ibu menabung, tetapi hanya sekian yang terkumpul. Padahal Ibu ingin tahun depan kamu menikah dan segera memberikan ibu cucu.” Ropin menelan ludah dan kerongkongannya tercekat oleh kekecewaan yang tiba-tiba mendera. Senyuman yang tadi mengembang berubah menjadi kemuraman. Bapak melihat itu.

“Jangan sedih dulu, Pin. Nanti tanah pekarangan yang di belakang rumah itu kita jual saja kepada Wak Haji Sobri. Bisa untuk tambahan biaya.” Bapaknya berkata datar, tetapi kembali melecut semangat di hati Ropin seperti mendapat sengatan listrik bertegangan tinggi.

Ropin meneteskan air mata mengingat semua itu. Trenyuh telah menyaksikan pengorbanan Ibu dan Bapak yang tulus. Menyesal karena telah memaksa mereka melakukan hal yang sangat sulit. Kecewa karena mimpi dan harapannya kandas. Sedih karena dunia ternyata makin gelap dan kejam. Nelangsa karena hidupnya berubah menjadi papa dan nista. Sirna. Dan pupus.

Ropin mengutuki dirinya yang malang. Menyalahkan nasibnya yang tak beruntung. Ia membalikkan tubuh, dan mendesah keras sambil mengepalkan tinju dan dipukulkannya keras-keras ke lantai tanah yang dingin. Huh! Kenapa semua ini terjadi pada diriku? Andaikata saja dulu aku tak memaksa Ibu dan Bapak …. Ropin bergumam lirih di sela isaknya yang tertahan. Hampir tiga tahun tinggal di tengah perkebunan kelapa sawit yang luas dan jauh dari keriuhan kota dan hingar-bingar dunia, telah menjadikannya pribadi yang asing bagi dirinya sendiri. Benar-benar asing dan terasing.

***

Lelah merenung dan meratapi nasib membuat mata Ropin pelan-pelan terpejam setelah lewat tengah malam yang dingin itu. Dengkurnya mulai terdengar kasar. Tetapi tidak lama. Karena kemudian di luar terdengar suara gaduh dan teriakan-teriakan yang tak jelas apa yang diucapkannya. Sangat riuh dan kacau. Papan-papan kayu dipukuli dan rumah-rumah bedeng dirobohkan dan dihancurkan. Penghuninya yang sedang terlelap kalang kabut dan berlarian kesana-kemari. Ropin pun segera bangun dan berlari keluar dari rumah bedengnya, tetapi ia kemudian terjatuh dan mengaduh karena tertabrak temannya yang berlari kencang.

“Ada polisi! Ada polisi! Cepat lari, sembunyi di hutan sana!” Teriakan teman-temannya yang segera menyadarkan Ropin untuk segera mengambil langkah seribu.

Dan diikutinya teman-temannya yang dengan cepat menghilang di kegelapan malam menuju hutan yang terletak di seberang perkebunan. Razia polisi negeri jiran itu akhirnya sudah sampai di tempat mereka juga. Padahal lokasinya jauh dan terpencil. Ah, sialan! Ropin mengumpat. Ia tidak sempat membawa tabungan uangnya yang tadi diletakkan di bawah sarung yang dijadikan bantalnya. Tapi rasa takut tertangkap polisi ia mengurungkan niatnya untuk kembali ke rumah bedeng itu. Kembali ia lari dan berlari.

Di hutan yang tak begitu lebat itu Ropin dan beberapa orang temannya bersembunyi dan mencoba bertahan hidup selama beberapa hari dengan memakan daun dan umbi-umbian yang mirip talas hutan. Dan ketika pada hari kelima mereka mencoba mengendap-endap kembali menuju rumah penampungan mereka di perkebunan itu. Mereka mendapatinya sudah rata dengan tanah, tinggal arang dan onggokan sampah kayu. Hancur sudah segalanya. Musnah sudah semua miliknya.

Sesal dan tangisan dalam hati begitu kental. Tetapi tak cukup kuat untuk disuarakan oleh bibirnya yang kehausan dan kelaparan. Manakala Ropin mencoba mengais puing reruntuhan rumah bedengnya yang dibakar dengan harapan masih ada sisa miliknya yang masih bisa diambil, ia mendengar hardikan keras tepat di belakangnya.

“Ayo, semua ikut kami! Jangan ada yang mencoba lari!” Suara polisi yang keras dan berwibawa , atau malah arogan.

"Kalian semua pendatang haram. Maka harus kami tangkap!” Ropin pasrah. Ia menurut saja ketika digiring bersama teman-temannya menuju truk polisi. Lelah dan lapar tak mungkin lagi dapat membuatnya berpikir dan bertindak lebih banyak. Inilah kenyataan yang harus diterima. Ia akan kembali ke kampung halaman menemui ibu dan bapaknya dengan membawa kenyataan yang teramat getir. Apapun yang terjadi. Apapun kata orang nanti.

Begitulah hidup bergulir. Setelah dua minggu ditampung di sebuah bangunan yang tidak tahu namanya, mereka digiring paksa menuju sebuah kapal yang akan mengangkut mereka ke tanah leluhur bernama Tanah Air tercinta. Di atas kapal yang penuh sesak Ropin terserang demam dan muntah-muntah. Tak ada yang menolong, kecuali seseorang yang berdiri di dekatnya yang memijiti tengkuknya sambil melafalkan doa dan berbisik agar Ropin membaca istighfar.

Begitu menginjakkan kaki di pelabuhan Tanjung Priok, Ropin jatuh pingsan. Dan ketika tersadar ia sudah berada di sebuah kamar yang hiruk pikuk. Tak ada yang mengenalnya, tak ada yang dikenalnya. Ketika seorang petugas menanyakan identitas dan alamatnya, Ropin menjawab dengan terbata-bata. Lalu petugas itu menjanjikan besok pagi akan diantar sampai ke rumah. Ropin tidak ingin menunggu sampai besok pagi, sekarang saja kalau bisa. Ia ingin segera bersujud dan bersimpuh di kaki kedua ibu bapak yang mungkin selalu mendoakan dan mengharapkan kehadirannya. Menantikannya selama tiga tahun.

***

Dan kini Ropin telah ada di serambi rumah kecilnya yang lapuk. Di hadapannya duduk bapaknya yang masih menghiasi wajahnya dengan aura ketabahan. Walaupun di hatinya berkecamuk rasa kecewa dan sedih berkepanjangan.

Tiba-tiba sang ibu keluar dari pintu yang sejak tadi terbuka separohnya. Suara batuknya seperti mengalir. Wajahnya tampak semakin tua dan kurus. Dia mencoba mengatasi kebekuan suasana dengan tetap tersenyum.

“Sudahlah, Pin. Jangan terlalu bersedih. Biarlah yang sudah terjadi kita lupakan saja. Semua sudah kehendak Gusti Allah.” Suaranya pelan dan lembut, menyadarkan lamunan Ropin yang sejak tadi mengembara.

“Yang penting kamu bisa pulang kembali dengan selamat. Kita berkumpul lagi seperti dulu, Ibu sudah sangat senang." Diusapnya rambut anaknya yang hanya mengangguk pelan. Ropin yang sejak tadi merasa mengusung beban yang teramat berat seakan mendapat curahan air hujan yang sejuk. Dipegang erat-erat dan gemetar tangan ibunya, lalu diciumnya. Ditatapnya bola mata yang tertanam jauh di bawah kelopak yang keriput namun bersinar teduh itu. Ropin ingin mengatakan sesuatu, tetapi lidahnya tak dapat digerakkan. Kerongkongannya laksana tercekik. Oh, ibu …. Aku telah menghancurkan semua mimpi dan harapanmu. Aku telah mengecewakanmu. Maafkan aku, Bu! Ampunkan semua dosa dan kesalahan Ropin, Bu! Ibunya tak mengerti apa yang hendak dikatakannya. Ia takut menatap lebih lama wajah ibu yang begitu menyayanginya.

“Sekarang kamu makan dulu. Lalu pergilah tidur, besok kita masih bisa ngobrol lagi.” Ibunya menarik tangan Ropin agar segera bangun dari duduknya. Ropin masih belum juga beranjak.

“Ayo sana. Turuti kata-kata ibumu. Kamu kan masih perlu istirahat.” Bapak menambahkan.

Ropin berjalan agak terhuyung menuju pintu masuk rumahnya diiringi tatapan mata kedua orangtua yang tak ingin ditinggalkan pergi lagi oleh anak satu-satunya itu. Dan ketika dia menghilang di balik pintu, ibu dan bapak itu menghela nafas panjang hampir bersamaan.

“Ya Allah ….”, wanita itu mendesah sambil merapatkan duduknya di samping suaminya yang tetap diam. Lalu kembali keheningan meraja. Pikiran mereka terbang sendiri-sendiri menjelajahi wilayah imajinasi yang sumir. Begitu kejamkah peran yang mesti dilakoni mereka, sehingga untuk dapat menikmati kebebasan tersenyum saja begitu sulitnya? Barangkali benar adanya, dunia memang kejam dan tidak ramah, setidaknya bagi orang-orang tak beruntung seperti mereka.

Lama keheningan mengurung mereka. Hingga lewat tengah malam barulah wanita itu menyadarkan lamunan suaminya.

“Bapak tidak mengantuk?”

“Belum, Bu. Biar Ibu tidur duluan, nanti sebentar lagi aku menyusul.”

Lalu wanita itu pun segera berlalu masuk ke dalam rumah. Dihampirinya meja tempat dia tadi meletakkan makanan untuk anaknya. Masih utuh. Tak ada yang berkurang atau bergeser sedikit pun. Berarti Ropin tidak mau makan, pikirnya. Mungkin dia masih kelelahan makanya langsung pergi tidur. Rasa sayang dan khawatir yang teramat kental terhadap keadaan anak yang begitu dicintai mendorongnya melongok ke dalam kamar Ropin yang pintunya memang tak dapat ditutup rapat itu. Dilihatnya pembaringan yang hanya beralaskan tikar pandan itu kosong.

Didorongnya daun pintu itu pelan-pelan, suaranya berderak. Tiba-tiba mata wanita itu terbelalak, hatinya terkesiap, dan secara reflek menjerit lantang. Pemandangan di depan matanya teramat dahsyat menghunjam batinnya yang sedang muram dan lelah. Lalu dunia seakan gelap, langit seolah runtuh, dan bumi terasa berguncang hebat.

Suaminya yang masih duduk di depan terperanjat mendengar teriakan istrinya yang diikuti suara benda jatuh. Khawatir telah terjadi sesuatu dengan istri dan anaknya di dalam, ia pun segera bangkit dan bergegas menuju ke dalam rumah. Matanya segera tertuju ke dalam kamar Ropin. Hatinya hancur, perasaannya melayang. Sebagai seorang laki-laki baru kali ini ia dipaksa harus meneteskan air mata tanpa dapat berkata apa-apa.

Langkahnya gontai mendekati kamar itu. Dilihatnya tubuh istrinya terbujur pingsan dengan sebelah tangannya masih memegang kaki Ropin yang tergantung kaku dengan lidah terjulur. Seutas tali jemuran mengikat lehernya ke balok di atas kamar itu. Luluh lantak dunia terasa. Ditatapnya wajah Ropin yang pucat dan diam. Anaknya yang waktu kecil dulu sering digendong ke sawah untuk menemaninya membajak sawah. Yang suka merengek minta dibuatkan seruling batang padi atau ditangkapkan belalang, kini telah meninggalkannya. Ropin telah pergi, menentukan sebuah pilihan yang berat. Menyisakan impiannya yang masih tetap berupa mimpi.

Lelaki itu lama terpaku. Beban yang teramat berat segera menindih batinnya yang selama ini tegar. Lalu keperkasaannya pun runtuh pelan-pelan dan dia kehilangan kesadarannya pula lalu jatuh tergeletak di samping tubuh istrinya. Kemudian sunyi. Angin malam berhembus dingin menerobos lewat pintu depan yang terbuka, menyaksikan puing-puing mimpi yang hancur dan kandas di ruangan sempit yang remang-remang itu. Di rumah yang dingin dan beku. Melepas Ropin yang kini benar-benar telah pergi, dan tak pernah akan kembali.

diambil dari: kumpulan lomba cerpen tahun 2006